Computational Social Science: Memahami Ilmu Sosial di Era Big Data
Metodologi3 November 2025• 15 min read

Computational Social Science: Memahami Ilmu Sosial di Era Big Data

Eksplorasi mendalam tentang bagaimana metode komputasi dan big data mengubah cara kita mempelajari masyarakat, dari jejak digital hingga simulasi kompleks

T

Tim Riset SocialX

Research Team

Pada tahun 2009, artikel perintis David Lazer dan rekan-rekannya di jurnal Science memperkenalkan istilah "Computational Social Science" (CSS) sebagai bidang interdisipliner yang menggabungkan ilmu sosial dengan metode komputasi untuk memahami perilaku manusia dan dinamika sosial dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari satu dekade kemudian, CSS telah berkembang dari pendekatan marginal menjadi metodologi utama yang mengubah lanskap riset sosial secara fundamental.

Computational Social Science merepresentasikan pergeseran paradigmatik dalam cara kita mempelajari masyarakat. Jika ilmu sosial tradisional mengandalkan survei dengan ratusan responden, wawancara mendalam, atau observasi lapangan, CSS memanfaatkan jejak digital dari jutaan orang, algoritma machine learning untuk menganalisis pola kompleks, dan simulasi komputasional untuk memahami fenomena sosial yang sulit diamati secara langsung.

Transformasi Digital dalam Riset Sosial

Revolusi digital telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia—dari cara kita berkomunikasi, bekerja, hingga berpartisipasi dalam politik. Transformasi ini menciptakan apa yang peneliti sebut sebagai "digital traces"—jejak-jejak data yang tertinggal dari aktivitas online kita. Setiap kali seseorang mengirim tweet, mengunggah foto di Instagram, melakukan pencarian di Google, atau bahkan sekadar membuka aplikasi di smartphone, data tentang perilaku tersebut terekam.

Volume data ini sangat masif. Menurut laporan Statista tahun 2024, pengguna internet global menghasilkan sekitar 2.5 quintillion bytes data setiap harinya. Facebook saja melaporkan bahwa penggunanya mengunggah lebih dari 350 juta foto per hari. Platform Twitter (sekarang X) mencatat sekitar 500 juta tweet setiap harinya. Data dalam jumlah ini tidak hanya besar secara kuantitatif, tetapi juga kaya secara kualitatif—mencakup teks, gambar, video, lokasi geografis, timestamp, dan metadata lainnya yang memberikan konteks tentang perilaku manusia.

Bagi peneliti sosial, ketersediaan data dalam skala ini membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Riset yang dahulu membutuhkan bertahun-tahun pengumpulan data melalui survei atau wawancara, kini dapat dilakukan dengan menganalisis jutaan postingan media sosial dalam hitungan hari. Fenomena sosial yang bersifat dinamis dan cepat berubah—seperti penyebaran informasi viral, mobilisasi protes sosial, atau pergeseran opini publik—kini dapat dipelajari secara real-time dengan resolusi temporal yang tinggi.

Namun, data saja tidak cukup. Menganalisis jutaan dokumen teks, memetakan jaringan sosial dengan jutaan node, atau mensimulasikan interaksi ribuan agen membutuhkan metode komputasi yang canggih. Di sinilah peran teknik-teknik dari computer science, statistika, dan data science menjadi krusial dalam CSS.

Metode Inti dalam Computational Social Science

Digital Trace Data: Mengubah Perilaku Digital Menjadi Wawasan Sosial

Konsep "digital traces" merujuk pada data yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari aktivitas digital kita. Berbeda dengan data survei yang dikumpulkan secara purposive dengan pertanyaan terstruktur, digital traces adalah data observasional yang terekam secara natural dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Digital traces memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari sumber data tradisional:

Skala dan granularitas: Data digital tersedia dalam volume yang sangat besar dengan detail yang tinggi. Seorang peneliti dapat menganalisis tidak hanya apa yang dikatakan seseorang dalam postingan media sosial, tetapi juga kapan tepatnya postingan tersebut dibuat, dari lokasi mana, siapa yang berinteraksi dengan postingan tersebut, bagaimana pola interaksi berkembang dari waktu ke waktu, dan bagaimana postingan tersebut terhubung dengan jaringan konten yang lebih luas.

Naturalness: Salah satu masalah klasik dalam penelitian sosial adalah reaktivitas—kecenderungan orang untuk mengubah perilaku mereka ketika mengetahui sedang diamati. Data survei atau eksperimen laboratorium rentan terhadap social desirability bias, di mana responden memberikan jawaban yang dianggap socially acceptable daripada jawaban yang mencerminkan perilaku atau sikap sebenarnya. Digital traces, dalam banyak kasus, merekam perilaku yang terjadi secara spontan tanpa awareness bahwa perilaku tersebut akan dianalisis untuk kepentingan penelitian.

Always-on: Data digital dihasilkan secara kontinyu, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari dinamika temporal dengan resolusi tinggi—dari pola diurnal (variasi harian) hingga tren jangka panjang yang berlangsung bertahun-tahun.

Namun, digital traces juga memiliki keterbatasan signifikan. Data ini sering kali tidak dirancang untuk keperluan penelitian, sehingga tidak selalu berisi informasi yang dibutuhkan peneliti. Masalah representativeness juga krusial—pengguna media sosial tidak merepresentasikan populasi secara keseluruhan, dan pola perilaku online tidak selalu mencerminkan perilaku offline. Selain itu, digital traces juga sensitif terhadap platform behavior dan algorithmic interventions—perubahan dalam algoritma platform dapat mengubah pola data yang terobservasi tanpa mencerminkan perubahan perilaku pengguna yang sebenarnya.

Computational Text Analysis: Mengekstrak Makna dari Jutaan Dokumen

Teks merupakan salah satu bentuk data paling kaya untuk memahami fenomena sosial. Narasi, opini, sentimen, framing, dan struktur argumentasi—semua terekam dalam bentuk teks. Namun, menganalisis jutaan dokumen teks secara manual adalah tugas yang mustahil. Di sinilah computational text analysis menjadi invaluable.

Natural Language Processing (NLP) adalah sub-bidang dari artificial intelligence yang fokus pada pemahaman dan pemrosesan bahasa manusia oleh komputer. Dalam konteks CSS, NLP digunakan untuk berbagai tugas analitis:

Sentiment Analysis: Teknik ini mengklasifikasikan teks berdasarkan polaritas emosional—positif, negatif, atau netral. Peneliti menggunakan sentiment analysis untuk memahami opini publik terhadap kebijakan politik, brand perception dalam konteks bisnis, atau reaksi emosional terhadap peristiwa sosial. Metode modern menggunakan deep learning models seperti BERT (Bidirectional Encoder Representations from Transformers) yang dapat memahami konteks dengan lebih nuanced, termasuk sarkasme, ironi, dan penggunaan bahasa yang ambigu.

Topic Modeling: Algoritma seperti Latent Dirichlet Allocation (LDA) dapat secara otomatis mengidentifikasi topik-topik yang tersembunyi dalam korpus besar dokumen tanpa perlu label manual. Misalnya, peneliti dapat menganalisis jutaan artikel berita untuk mengidentifikasi tema-tema dominan dalam diskursus publik selama kampanye pemilu, atau menganalisis postingan media sosial untuk memahami apa yang dibicarakan publik tentang isu tertentu.

Named Entity Recognition (NER): Teknik ini mengidentifikasi dan mengklasifikasikan entitas bernama dalam teks—seperti nama orang, organisasi, lokasi, atau produk. NER sangat berguna untuk network analysis berbasis teks, di mana peneliti ingin memahami siapa atau apa yang sering disebut bersama dalam diskursus publik.

Frame Analysis: Dalam komunikasi politik dan studi media, konsep "framing" mengacu pada cara isu tertentu dipresentasikan dalam diskursus publik. Computational frame analysis menggunakan supervised atau semi-supervised machine learning untuk mengidentifikasi frame yang digunakan dalam korpus teks besar. Misalnya, peneliti dapat menganalisis bagaimana media berbeda membingkai isu perubahan iklim—apakah sebagai isu lingkungan, ekonomi, atau keamanan nasional.

Perkembangan recent dalam large language models (LLMs) seperti GPT-4 membawa NLP ke level baru. Model-model ini dapat melakukan tugas-tugas kompleks seperti summarization, translation, question-answering, dan bahkan analisis semantik yang sophisticated dengan akurasi yang mendekati atau bahkan melampaui kemampuan manusia dalam beberapa domain.

Network Analysis: Memahami Struktur Relasional

Salah satu insight fundamental dari sosiologi adalah bahwa individu tidak beroperasi dalam vacuum—kita embedded dalam jaringan relasi sosial yang mempengaruhi perilaku, beliefs, dan outcomes kita. Network analysis dalam CSS menyediakan framework matematis dan komputasi untuk mempelajari struktur relasional ini.

Dalam representasi formal, network (atau graph) terdiri dari nodes (entitas) dan edges (relasi antara entitas). Nodes bisa merepresentasikan individu, organisasi, negara, atau bahkan konsep abstrak, sementara edges merepresentasikan berbagai jenis relasi—pertemanan, kolaborasi, komunikasi, transaksi, atau similarity.

Centrality Measures: Salah satu pertanyaan kunci dalam network analysis adalah mengidentifikasi node mana yang paling "penting" atau "berpengaruh" dalam jaringan. Berbagai centrality measures telah dikembangkan untuk menjawab pertanyaan ini dari perspektif yang berbeda. Degree centrality mengukur berapa banyak koneksi yang dimiliki sebuah node. Betweenness centrality mengukur seberapa sering sebuah node berada di jalur terpendek antara node lain—menunjukkan peran sebagai "broker" yang menghubungkan bagian berbeda dari jaringan. Eigenvector centrality (dan variannya seperti PageRank) mempertimbangkan tidak hanya berapa banyak koneksi yang dimiliki sebuah node, tetapi juga kualitas koneksi tersebut—memiliki koneksi dengan node yang berpengaruh meningkatkan centrality sendiri.

Community Detection: Jaringan sosial sering kali menunjukkan struktur modular—kelompok-kelompok node yang lebih densely connected satu sama lain dibanding dengan bagian lain dari jaringan. Algoritma community detection seperti Louvain method atau Infomap dapat mengidentifikasi komunitas-komunitas ini secara otomatis. Dalam konteks media sosial, misalnya, community detection dapat mengidentifikasi echo chambers atau filter bubbles—kelompok users yang primarily berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki views serupa.

Diffusion Analysis: Bagaimana informasi, inovasi, atau perilaku menyebar melalui jaringan sosial? Models of diffusion—seperti Independent Cascade Model atau Linear Threshold Model—mensimulasikan proses penyebaran ini berdasarkan struktur jaringan. Peneliti dapat mengidentifikasi influential spreaders, memahami kondisi di mana cascades besar terjadi, atau memprediksi kecepatan dan jangkauan difusi.

Aplikasi network analysis dalam CSS sangat luas. Dalam politik, peneliti menganalisis jaringan komunikasi politik untuk memahami polarisasi dan fragmentasi diskursus publik. Dalam epidemiologi, contact networks digunakan untuk modeling penyebaran penyakit dan menginformasikan strategi intervensi. Dalam studi organisasi, collaboration networks membantu memahami knowledge diffusion dan inovasi.

Computational Modeling dan Simulasi

Selain menganalisis data observasional, CSS juga menggunakan computational modeling untuk memahami mekanisme kausal yang menghasilkan pola sosial yang kita amati. Pendekatan ini sangat berguna untuk mempelajari emergent phenomena—situasi di mana pola-pola makro muncul dari interaksi mikro-level yang kompleks.

Agent-Based Modeling (ABM): Dalam ABM, peneliti membangun simulasi yang terdiri dari autonomous agents—entitas komputasional yang merepresentasikan individu atau unit sosial lainnya. Setiap agent memiliki atribut dan rules of behavior tertentu. Simulasi menjalankan interaksi berulang antara agents dalam lingkungan yang didefinisikan, dan peneliti mengobservasi pola makro yang emerge dari interaksi mikro ini.

Contoh klasik adalah model segregasi Schelling, yang menunjukkan bahwa segregasi residential yang ekstrem dapat muncul bahkan ketika individu hanya memiliki preferensi lemah untuk tetangga yang serupa. Model ini memberikan insight penting tentang bagaimana outcome kollektif dapat sangat berbeda dari intensi individual.

Dalam CSS kontemporer, ABM digunakan untuk mempelajari berbagai fenomena—dari polarisasi opini dalam media sosial, dinamika norm change, hingga collective action dan social movements. Kekuatan ABM adalah kemampuannya untuk mengeksplorasi counterfactual scenarios—"what if" questions yang sulit dijawab dengan data observasional saja.

Aplikasi CSS dalam Berbagai Disiplin

Ilmu Politik dan Komunikasi Politik

CSS telah membawa transformasi signifikan dalam studi politik dan komunikasi politik. Riset klasik tentang opini publik mengandalkan polling—survei dengan sampel representatif dari populasi. Namun, polling memiliki keterbatasan: mahal, memakan waktu, dan mengukur opini pada satu titik waktu saja. CSS memungkinkan peneliti untuk menganalisis opini publik secara berkelanjutan dengan resolusi temporal yang tinggi.

Studi tentang polarisasi politik, misalnya, telah sangat diuntungkan dari metode CSS. Riset oleh Pablo Barberá dan rekan-rekan menggunakan data Twitter untuk mengukur posisi ideologis dari jutaan pengguna berdasarkan siapa yang mereka ikuti. Mereka menemukan bahwa meskipun elit politik dan warga yang aktif secara politik menunjukkan polarisasi yang tinggi, mayoritas pengguna menunjukkan posisi moderat dan terpapar perspektif politik yang beragam.

CSS juga mengubah pemahaman kita tentang misinformasi dan disinformasi. Riset oleh Vosoughi, Roy, dan Aral yang dipublikasikan di Science menganalisis rangkaian penyebaran informasi di Twitter dan menemukan bahwa berita palsu menyebar jauh lebih cepat, lebih luas, dan lebih dalam daripada berita benar. Mereka menyimpulkan bahwa ini bukan karena bot—yang memiliki distribusi serupa untuk berita palsu dan benar—tetapi karena berita palsu lebih baru dan manusia lebih cenderung membagikan informasi yang baru.

Sosiologi dan Studi Ketimpangan

Dalam sosiologi, CSS memberikan perangkat baru untuk mempelajari stratifikasi sosial dan ketimpangan. Raj Chetty dan rekan-rekan di Opportunity Insights menggunakan big data dari catatan pajak, jejaring sosial, dan data administratif untuk mempelajari mobilitas sosial di Amerika Serikat dengan granularitas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka dapat menganalisis pola mobilitas tidak hanya di tingkat nasional atau negara bagian, tetapi bahkan di tingkat lingkungan, mengidentifikasi area geografis spesifik di mana anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki peluang terbaik untuk mobilitas sosial.

Riset tentang jejaring sosial dan ketimpangan juga menggunakan metode CSS. Matthew Jackson dan rekan-rekan mempelajari bagaimana struktur jejaring sosial mempengaruhi hasil ekonomi. Mereka menemukan bahwa individu dengan jaringan yang lebih beragam—yang mencakup ikatan lemah lintas kelompok sosial—memiliki akses lebih baik ke informasi tentang peluang kerja dan sumber daya lainnya.

Ekonomi dan Consumer Behavior

Dalam ekonomi, CSS digunakan untuk mempelajari market dynamics, consumer behavior, dan economic decision-making dengan data granular. Online marketplaces seperti Amazon atau Tokopedia menghasilkan detailed transaction data yang memungkinkan peneliti untuk mempelajari price dynamics, consumer preferences, dan effects of recommendation algorithms secara real-time.

Penelitian tentang peer effects dan social influence dalam economic decisions juga telah advanced significantly. Lev Muchnik dan rekan-rekan melakukan field experiment di platform berita sosial dan menemukan bahwa positive social influence (upvotes) create herding behavior yang significantly meningkatkan likelihood bahwa comments berikutnya juga akan memberikan upvotes.

Public Health dan Epidemiologi

COVID-19 pandemic mendemonstrasikan pentingnya CSS dalam public health. Mobility data dari smartphone—aggregated dan anonymized—digunakan untuk memahami effectiveness dari social distancing measures dan memprediksi disease spread. Social media data dianalisis untuk memahami public sentiment tentang vaccines, mengidentifikasi vaccine hesitancy, dan menginformasikan public health communication strategies.

Network analysis digunakan untuk contact tracing dan understanding transmission dynamics. Computational models mensimulasikan berbagai intervention scenarios untuk menginformasikan policy decisions tentang lockdowns, school closures, dan vaccination strategies.

Tantangan Metodologis dan Etis

Meskipun CSS menawarkan opportunities yang tremendous, bidang ini juga menghadapi challenges signifikan—baik metodologis maupun etis.

Masalah Representativeness dan Bias

Salah satu kritik fundamental terhadap CSS adalah masalah representativeness. Digital traces primarily mencerminkan perilaku online dari populasi yang memiliki akses ke teknologi digital. Ini menciptakan digital divide—kesenjangan antara those yang terwakili dalam data digital dan those yang tidak. Di banyak negara, akses ke internet dan media sosial masih terbatas pada segmen tertentu dari populasi—cenderung lebih urban, lebih educated, dan lebih affluent. Research yang hanya mengandalkan data digital risks menghasilkan insights yang biased dan tidak generalizable ke populasi secara keseluruhan.

Bahkan di antara digital users, participation di platform berbeda varies across demographic groups. Pew Research Center menemukan bahwa di Amerika Serikat, YouTube dan Facebook digunakan across broad demographic spectrum, sementara platform seperti Twitter digunakan disproportionately oleh younger, more educated, dan more politically engaged users. Research tentang political discourse di Twitter, therefore, tidak necessarily representative dari political discourse secara umum.

Algorithmic bias juga merupakan concern serius. Machine learning models yang digunakan dalam CSS analysis dapat perpetuate atau bahkan amplify existing biases dalam data. Jika training data mencerminkan historical discrimination atau stereotypes, model yang di-train pada data tersebut akan mereproduksi bias ini dalam predictions atau classifications.

CSS menghadapi ethical dilemmas yang kompleks terkait privacy dan consent. Banyak digital traces adalah publicly accessible—postingan publik di Twitter, reviews di platform e-commerce, atau comments di forums online. Namun, "publicly accessible" tidak necessarily berarti "intended for research use." Users yang membuat postingan publik di media sosial mungkin tidak expect atau consent untuk data mereka di-scrape dan dianalisis untuk keperluan penelitian.

Kasus kontroversial Facebook-Cambridge Analytica menunjukkan risiko ethical dan legal ketika data personal digunakan tanpa proper consent. Penelitian akademis juga menghadapi scrutiny—contohnya adalah controversial study oleh Facebook dan Cornell University tentang "emotional contagion" yang memanipulasi news feeds users untuk mempelajari whether emotions spread socially, tanpa explicit informed consent.

Berbagai frameworks ethical telah diusulkan untuk CSS research. Menurut Salganik dalam bukunya Bit by Bit: Social Research in the Digital Age, ethical research harus mempertimbangkan empat principles: respect for persons, beneficence (maximize benefits dan minimize harms), justice (distribute benefits dan burdens fairly), dan respect for law and public interest.

Institutional Review Boards (IRBs) di universitas increasingly grappling dengan bagaimana mengevaluasi CSS research proposals. Traditional ethical frameworks yang dikembangkan untuk biomedical research atau psychology experiments tidak selalu directly applicable ke context CSS research yang menggunakan publicly available digital data.

Reproducibility dan Transparency

Reproducibility crisis dalam sciences secara umum juga affects CSS. Banyak CSS research mengandalkan proprietary data dari platforms (Facebook, Twitter, dll.) yang tidak publicly accessible, making it difficult untuk researchers lain untuk mereplikasi findings. Platform APIs—yang traditionally memberikan akses ke data untuk researchers—increasingly restricted atau shut down, further limiting reproducibility.

Kompleksitas computational methods juga menciptakan challenges untuk transparency. Machine learning models, especially deep neural networks, often operate as "black boxes"—difficult to interpret atau explain exactly bagaimana model arrive at particular predictions atau classifications. Ini problematic dalam contexts di mana decisions based on model outputs memiliki significant consequences untuk individuals atau communities.

Integrasi CSS dengan Metode Tradisional

Penting untuk menekankan bahwa CSS bukan pengganti untuk ilmu sosial tradisional, tetapi pelengkap. Setiap pendekatan memiliki kekuatan dan keterbatasan, dan riset yang paling kokoh sering kali mengintegrasikan berbagai metode.

Digital traces menyediakan skala dan granularitas yang belum pernah ada sebelumnya, tetapi sering kali kurang mendalam dan kontekstual dibanding wawancara mendalam atau riset etnografi. Survei masih sangat berharga untuk mengukur sikap, keyakinan, atau pengalaman yang tidak terekam dalam perilaku digital. Eksperimen—baik laboratorium atau eksperimen lapangan—tetap menjadi standar emas untuk membangun hubungan kausal.

Tren dalam riset CSS semakin mengarah pada pendekatan metode campuran (mixed-methods) yang menggabungkan analisis komputasional dari big data dengan metode kualitatif atau survei. Misalnya, peneliti mungkin menggunakan topic modeling untuk mengidentifikasi tema-tema utama dalam jutaan postingan media sosial, kemudian melakukan wawancara dengan pengguna tertentu untuk memahami konteks dan motivasi yang lebih dalam di balik pola yang ditemukan dalam data.

Kesimpulan

Computational Social Science merepresentasikan langkah evolusioner dalam ilmu sosial—memperluas perangkat peneliti dengan metode dan sumber data yang canggih untuk memahami masyarakat di era digital. CSS telah menghasilkan wawasan penting tentang berbagai fenomena mulai dari polarisasi politik, difusi informasi, ketimpangan, hingga perilaku kolektif.

Namun, CSS juga menghadapi tantangan signifikan—metodologis, etis, dan praktis—yang harus diatasi agar bidang ini dapat merealisasikan potensi penuhnya secara bertanggung jawab dan adil. Masalah representativitas, bias algoritma, privasi, dan reprodusibilitas memerlukan dialog berkelanjutan antara peneliti, perusahaan platform, pembuat kebijakan, dan publik.

Untuk ilmuwan sosial di Indonesia, CSS menawarkan peluang untuk berkontribusi ke wacana ilmiah global dengan perspektif dan konteks yang unik. Indonesia, dengan populasi internet terbesar di Asia Tenggara dan lanskap sosial-politik yang khas, menyediakan latar yang kaya untuk riset CSS tentang topik seperti demokrasi digital, ekosistem informasi, atau media sosial dan gerakan sosial.

Ke depannya, kesuksesan CSS akan bergantung pada kemampuan bidang ini untuk mempertahankan kekakuan metodologis sambil tetap bertanggung jawab secara etis, untuk memanfaatkan kemajuan teknologi sambil tetap kritis terhadap keterbatasannya, dan untuk menghasilkan wawasan yang tidak hanya bernilai ilmiah tetapi juga relevan secara praktis untuk mengatasi tantangan masyarakat.


Artikel ini merupakan bagian dari seri Research & Insights SocialX tentang metodologi penelitian sosial digital. Untuk eksplorasi lebih mendalam tentang aplikasi spesifik CSS methods, lihat artikel lainnya di blog kami.

Tags

#computational social science #metodologi penelitian #big data #digital methods #social science